Chrome Pointer
Selamat Datang dan Terima Kasih Telah Berkunjung di Blog ini

Thursday 16 June 2016

Ayat dan Tafsir Tentang Manusia dan Hukum Perubahan

A.    Manusia
1.   Pengertian Manusia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Manusia berarti makhluk yang berakal budi. Sedangkan dalam Al’Quran manusia dapat diartikan sebagai insanul kamil yang berarti yang sempurna.[1]

Pandangan Islam
Dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, al-naas, al-abd, bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, ramah, atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi Adam.
Namun dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
Pandangan Islam tentang teori Evolusi Manusia
Teori ini di cetuskan oleh Charles Robert Darwin (1809-1882) Dua inti pokok dari teori darwin :
1.    Spesies yang hidup di masa sekarang berasal dari makhluk hidup yang berasal dari masa lampau.
2.    Evolusi terjadi karena adanya proses seleksi alam (natural selections)  Pengertian dan arti definisi seleksi alam adalah seleksi yang terjadi pada individu-individu yang hidup di alam, sehingga individu yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut akan terus hidup dan beranak pinak, sedangkan yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan alam lingkungan sekitarnya akan musnah dan hilang dimakan waktu.[2]
Berdasarkan penemuan fosil-fosil oleh para ilmuan berpendapat bahwa asal usul manusia sesuai dengan teori evolusi merupakan hasil evolusi dari kera-kera besar (manusia kera berjalan tegak) selama bertahun-tahun dan telah mencapai bentuk yang paling sempurna.Teori evolusi ini dipelopori oleh seorang ahli zoologi bernama Charles Robert Darwin (1809-1882). Dalam teorinya ia mengatakan: “Suatu benda (bahan) mengalami perubahan dari yang tidak sempurna menuju kepada kesempurnaan”.Kemudian ia memperluas teorinya ini hingga sampai kepada asal-usul manusia.
Teori ini mempunyai kelemahan karena ada beberapa jenis tumbuhan yang tidak mengalami evolusi dan tetap dalam keadaan seperti semula. Seperti ganggang biru yang diperkirakan telah ada lebih dari satu milyar tahun namun hingga sekarang tetap sama. Yang lebih jelas lagi adalah hewan sejenis biawak atau komodo yang telah ada sejak berjuta-juta tahun yang lalu dan hingga kini tetap ada. Jadi secara jujur dapat kita katakan bahwa teori yang dianggap ilmiah itu ternyata tidak mutlak karena antara teori dengan kenyataan tidak dapat dibuktikan.
Lain halnya dengan apa yang tertulis dalam kitab, khususnya Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an jika dipandukan dengan hasil penelitian ilmiah menemukan titik temu mengenai asal usul manusia ini. Terwujudnya alam semesta ini berikut segala isinya diciptakan oleh Allah dalam waktu enam masa. hal ini sesuai dengan firman Allah :
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam diatas Arsy (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah itu kepada Yang Maha Mengetahui.” (QS. Al Furqan (25) : 59)
Keenam masa itu adalah Azoikum, Ercheozoikum, Protovozoikum, Palaeozoikum, Mesozoikum, dan Cenozoikum. Dari penelitian para ahli, setiap periode menunjukan peubahan dan perkembangan yang bertahab menurut susunan organisme yang sesuai dengan ukuran dan kadarnya masing-masing (tidak bervolusi).[3]



B.     Hukum dan Perubahan
1.      Pengertian Hukum
Menurut Ultrech
Hukum adalah peraturan yang berisi perintah dan larangan yang mengatur masyarakat, sehingga harus dipatuh.[4]

Pandangan Islam
Dalam Islam tentu saja hukum yang berlaku bersumber pada agama Islam yang tentunya berpedoman teguh pada Al-Qur’an. Dalam hal ini berarti hukum merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan Allah S.W.T yang baik atau buruknya, yang dilarang maupun yang harus dijalankan oleh seorang muslim.[5]

2.      Pengertian Perubahan
      Menurut Para Ahli, Sebagai Berikut :
Cateora
Perubahan adalah hasil suatu masyarakat yang mencari cara memecahkan masalah yang diciptakan oleh perubahan dalam lingkungannya.[6]

C.     Ayat dan Tafsir Tentang Manusia dan Perubahan Hukum

1.      Manusia Sebagai Khalifah.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)

Kata khalifah berkata pada khalafah, artinya mengganti atau meneruskan. dalam pengertian khalifah berarti seseorang menggantikan orang lain. dengan ini menjadi jelas, mengapa pemimpin di negara islam degelari khalifah. abu bakar, yang mengganti rasul setelah beliau  wafat, mendapat gelar khalifah rasul.
Makna khalifah memunculkan banyak pendapat . Bahkan perbedaan pendapat muncul dalam pembicaraan mengenai siapa mengganti atau mengikuti siapa. Tentang siapa mengganti atau mengikuti siapa, terdapat 3 pendapat yang berbeda, yaitu Pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa manusia merupakan spesis yang menggantikan spesis lain yang perna lebih dahulu hidup di bumi. Dengan demikian, manusia menurut pendapat ini merupakan khalifah zin di atas bumi. ( thabari, 1954-1968, jilid I : 450 ). Pendapat yang kedua adalah yang mengatakan bahwa tiada makhuk lain di bumi, yang di ganti manusia. Istilah khalifah, bagi kelompok ini menunjukkan sekelompok manusia yang mengganti kelompok lain.[7]
Manusia sebagai khalifah Allah fil ardhi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa yang ada di bumi, untuk kepentingan hidupnya. Dengan demikian hal ini berarti ia diberi kepercayaan untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui seluk-beluk bumi, atau paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya.
Kedudukan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi dikritisi oleh malaikat karena mereka – manusia – mempunyai potensi untuk membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa malaikat belum mengetahui tentang manusia, lalu manusia menunujukkan kemampuannya untuk menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini, yang berarti juga kemampuan untuk berinisiatif, dengan demikian manusia tidak hanya berpotensi merusak akan tetapi juga memiliki potensi untuk berbuat kebaikan
Kisah penciptaan manusia dalam bentuk serah terima "kekhalifahan di atas bumi", kepada manusia, menurut Fazlur Rahman diwarnai dengan protes para malaikat dan berkata: "Apakah engkau hendak menempatkan seseorang yang akan berbuat aniaya di atas bumi dan yang akan menumpahkan darah, sedang kami selalu memuji Kebesaran dan Kesucian-Mu? Allah tidak menyangkal tuduhan mereka terhadap manusia itu tetapi Dia menjawab:' Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui". Kemudian Allah membuat kompetisi di antara para malaikat dengan Adam: siapakah di antara mereka yang lebih luas pengetahuannya. Dan kompetisi ini dimenangkan oleh manusia yang mampu menyebutkan nama-nama sementara malaikat tidak sanggup untuk melakukan hal tersebut. Keterangan ini menunjukkan bahwa manusia (Adam) dapat memiliki pengetahuan yang kreatif. Setelah itu, kemudian Allah menyuruh malaikat tersebut untuk bersujud kepada manusia (Adam).

Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan tanggungjawab moral manusia kepada Allah yang harus menjadi tantangan bagi manusia untuk mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka bumi dengan membawa misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan untuk berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri bahwa ia merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk lainnya dan akan mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia sesuai dengan tujuannya di dunia yaitu ibadah.

2.      Manusia Sebagai Makhluk Terbaik.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)

Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik. Kami ciptakan dia dengan ukuran tinggi yang memadai, dan memakan makanannya dengan tangannya, tidak seperti makhluk lain yang mengambil dan memakan makanannyadengan mulutnya. Lebih dari itu kami istimewakan manusia dengan akalnya, agar bisa berfikir dan menimba berbagai ilmu pengetahuan serta bisa mewujudkan segala inspirasinya yang dengannya manusia bisa berkuasaatas segala makhluk. Manusia memiliki kekuatan dan pengaruh yang dengan keduanya bisa menjangkau segala sesuatu.
Tetapi manusia itu memang pelupa. Ia tidak menyadari keistimewaan yang dimilikinya. Bahkan ia tidak menyangka bahwa seolah-olah dirinyatak ubahnya makhluk jenis lain. Akibatnya ia malang-melintangdalam berbagai perbuatan yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah kejadiannya. Ia gemar mengumpulkan harta benda dan bersenang-senang memenuhi hawa nafsu. Ia berpaling dari hal-hal yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan akhiratnya, dan hal-hal yang mendatangkan keridhaan-nya yang bisa mengantarkan kepada perolehan kenikmatan yang abadi. [8]
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. setiap manusia yang dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di antara ratusan juta pesaing lainnya yang akan lahir ke muka bumi.
Setiap orang yang lahir ke muka bumi akan berjuang berlomba-lomba menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk sampai ke tempat tujuan (ke tuba faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai induk telur. Dengan tak kenal lelah mereka berenang beberapa milimeter untuk melewati perjalanan yang penuh dengan mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan sperma menuju indung telur ini hanya beberapa ribu yang dapat menyelesaikan perjalanan dan dari ribuan ini hanya satu sperma yang akan berhasil memasuki telur dan membuahinya. jika manusia menyadari kejadian ini dengan memperhatikan dan mengambil ibroh dibalik kejadian tersebut, sudah seharusnya setiap individu merasa bangga akan dirinya dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan makhluk terbaik dan terpilih di antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan amanah sebagai khalifah Allah.
Ayat berikut yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dengan menunjukkan tentang proses penciptaan manusia:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.(at-Thariq: 5-7)

Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ia merupakan bukti kebenaran dalam ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan oleh Allah. Hal ini mengingat bahwa "air yang memancar" adalah salah satu benda cair yang tidak ada terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai peralatan yang mengandung fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai anggota tubuh. Namun, "cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi suatu makhluk yang sempurna, yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal dan persepsi, serta memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi. Pembentukan dan penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya, serta penciptaaan pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan potensi tertentu, sehingga dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya, kemudian ditambah lagi dengan akal serta daya persepsi: semua itu tidak mungkin dibiarkan tanpa ada "penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya yaitu Allah.
Atau ayat ini dapat bermakna sebagai penegas ayat sebelumnya: "apabila telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa pasti ada pengawasnya maka wajib atas setiap manusia untuk tidak menelantarkan dirinya sendiri." Wajiblah ia berpikir tentang kejadian dirinya serta bagaimana awal mula kejadiannya. Agar ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang kuasa menciptakannya sejak pertama kali, pasti kuasa pula untuk membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan mendorong dirinya untuk melakukan amal-amal saleh dan berperilaku sebaik-baiknya, serta menjauhkan diri dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata Sang Pengawas tak lengah sedikitpun. Kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk mengetahui hakikat dirinya agar mampu melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan oleh sang penciptanya.

3.      Manusia Sebagai Makhluk Perubah

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merampas nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan maksiat. Ini dapat terjadi pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sukses dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan dalam diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan dosa tidak akan mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah orang-orang yang saleh itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila banyak terjadi kerusakan dalam masyarakatnya semua ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk berubah menuju kebaikan atau keburukan. Dominasi manusia yang memiliki nilai negatif terhadap orang-orang saleh yang tidak mampu berbuat apa-apa akan berakibat semuanya terkena musibah atau bencana yang melanda kaum tersebut.
Berikut ini akan penulis paparkan dan jelaskan dari Khutbah Idul Fitri Amin Rais, yang berjudul: Membangun Rasa Percaya Diri. Menurut Amin saat ini bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. Untuk keluar dari keterpurukan itu, umat Islam sebagai bagian dari bangsa masih harus mengasah dan mempertajam ketakwaan kita kepada Allah. Pada gilirannya bila ketakwaan semakin mantap maka insya Allah semakin besar pula kepercayaan diri, self confidence, atau at-tsiqah 'ala an-nafs bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa yang besar sekarang bangsa Indonesia berada dalam suasana tidak percaya diri, malahan kadang-kadang seperti mengalami kebingungan. Berikut ini merupakan bukti-bukti ketidak percayaan diri yang di jelaskannya:
Lihatlah bagaimana kita merasa sudah tidak mampu lagi memperbaiki ekonomi kita dengan akal, energi, daya dan kreativitas kita sendiri. Sebagai gantinya, kita serahkan sepenuhnya nasib ekonomi kita kepada sebuah badan dana moneter internasional. Padahal badan internasional tersebut ternyata tidak becus memperbaiki ekonomi Indonesia.
Lihatlah bagaimana mula-mula didirikan sebuah badan utuk menyehatkan perbankan dan berbagai BUMN kita. Namun dalam perkembangannya badan itu kini menjadi juru lelang aset-aset nasional. Mengapa? Karena kita tidak yakin dapat memperbaiki berbagai BUMN itu dengan kemampuan dan akal sehat kita. Sikap yang diambil kemudian adalah jual saja berbagai BUMN itu, habis perkara. Memang perkaranya habis karena kita kemudian menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentingan luar negeri.
Lihatlah bagaimana kita bahkan tidak berani mengangkat kepala kita melihat pencurian tanah dan pasir Indonesia yang sudah berlangsung hampir dua dasawarsa. Beberapa pulau di sekitar Kepulauan Riau sudah lenyap karena sudah berpindah dan ditempelkan ke suatu negara tetangga lewat proses reklamasi. Nampaknya kita tidak berani hanya sekedar menegur, bahkan menyindir negara tetangga tersebut agar menghentikan penjarahan tanah, pasir dan air kita. Masya Allah.
Lihatlah juga bagaimana kita memperlakukan kekayaan alam kita yang dianugerahkan Allah kepada kita bangsa Indonesia. Betapa banyak kontrak karya dibidang perminyakan, gas alam, emas, perak, tembaga dan berbagai kekayaan miniral kita, yang amat sangat menguntungkan pihak luar negeri dan cukup merugikan, bahkan menyengsarakan bangsa sendiri. Mengapa? Karena kita beralasan tidak punya modal, tidak punya kemampuan manajerial, tidak punya apa-apa untuk mengelola karunia dan anugerah kekayaan alam itu dengan tangan kita sendiri.
Oleh sebab itu setiap individu, para pemimpin dan rakyat seluruhnya, harus berusaha memulihkan kembali rasa percaya diri yang kini sudah hilang. Perlunya upaya untuk menemukan kembali dan memperkokoh rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bangsa manapun, tidak mungkin mengandalkan pemulihan kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan dan lain-lain semata-mata pada kekuatan luar negeri. Mustahil ada satu bangsa yang mau bersusah payah dan berkorban untuk bangsa lain.
Karena itulah perlu ditekankan kembali firman Allah dalam surat ar-Ra'du ayat 11: "... Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya". Juga firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 53: " ... Demikianlah Allah sekali-kali tidak akan merubah kenikmatan yang telah dikaruniakan pada suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya..."

4.      Qur,an Surah An-Nahl : 101-103
Ayat ke 101

وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101)

Artinya:
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang mengada-adakan saja." Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (16: 101)

Berdasarkan maslahat, Allah secara perlahan-lahan menurunkan hukum sebagian perbuatan. Hal ini dapat disaksikan dalam hukum pengharaman minum minuman keras yang diturunkan secara bertahap. Mereka yang menentang kebenaran Al-Quran menjadikan alasan bahwa perubahan hukum ini menjadi bukti hukum tersebut tidak diturunkan dari Allah, tapi Nabi Muhammad Saw yang mengeluarkan sendiri hukum tersebut. Oleh karenanya, setiap kali Nabi berkehendak, hukum itu pasti diubahnya.
Ayat ini mengatakan, "Setiap kali ayat baru yang memuat hukum baru diturunkan, para penentang yang tidak mengenal maslahat hukum ilahi bakal menuduh Nabi Muhammad Saw. Padahal Allah Swt lebih mengetahui dalam kondisi bagaimana menurunkan hukum dan bila kondisinya memungkinkan akan diubah." Dalam syariat Islam perubahan hukum ini disebut "naskh" dan tidak ada yang berhak mengubah hukum Allah.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Perubahan sejumlah hukum di masa permulaan Islam berdasarkan maslahat dan kebijakan dari sisi Allah.
2. Manusia tidak mengetahui rahasia hukum dan undang-undang ilahi. Oleh karenanya, mereka menyampaikan kritikan dan pertanyaan.

Ayat ke 102

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (102)

Artinya:
Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bari orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (16: 102)

Sebagai jawaban atas tuduhan orang-orang musyrik yang disebutkan di ayat sebelumnya, di mana mereka menuduh Nabi  Muhammad Saw ikut campur tangan dalam perubahan ayat-ayat dan hukum ilahi, ayat ini mengatakan, "Jawablah kepada mereka secara transparan bahwa semua ayat-ayat al-Quran diturunkan dengan benar dan jujur oleh Jibril, malaikat wahyu dan tidak ada kekurangan dan penyimpangan dalam al-Quran. Bila ada perubahan parsial di sejumlah hukum, hal itu untuk mempersiapkan orang-orang yang beriman mengamalkan kewajiban sementara agar lebih mudah melaksanakan kewajiban yang asli. Begitu juga penurunan hukum secara bertahan guna memperkuat keimanan mereka dan orang-orang yang keimanannya belum kuat dapat memperoleh hidayah dan kabar gembira dengan cara ini.”

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kandungan al-Quran berisikan kebenaran dan hakikat. Kebenaran itu mulai dari model penurunan ayat-ayat al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw hingga penyampaiannya kepada masyarakat. Semuanya berlangsung secara benar dan kokoh agar kebatilan tidak masuk ke dalamnya.
2. Derajat keimanan manusia berbeda-beda. Sekelompok orang beriman sebatas lisan dan sebagian lainnya merasuk hingga ke dalam hatinya. Al-Quran diturunkan kepada semua orang dan menjadi sumber hidayah dan kabar gembira.

Ayat ke 103

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ (103)

Artinya:
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahawa Ajam (non Arab). Sedang Al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. (16: 103)

Melanjutkan ayat-ayat sebelumnya tentang pelbagai tuduhan orang-orang yang menentang Rasulullah Saw, ayat ini mengatakan, "Sebagian orang yang mengingkari malah bertindak lebih jauh. Mereka tidak hanya mengatakan bahwa hanya ayat-ayat yang diubah saja yang termasuk buatan Nabi Muhammad Saw, tapi juga seluruh sl-Quran merupakan karya Nabi Muhammad Saw, bahkan isi dan bahasanya malah dinisbatkan kepada selain nabi. Mereka mengatakan, "Muhammad terlebih dahulu mempelajari masalah-masalah ini lalu kemudian mengaku sebagai nabi."
Pertanyaannya, mengapa orang yang mengajar Muhammad tidak mengaku dirinya sebagai nabi tetapi hanya muridnya yang mengaku nabi? Kedua, mereka yang disebut oleh orang-orang musyrik sebagai pengajar nabi seluruhnya berasal dari luar jazirah Arab dan mereka tidak mengenal bahasa Arab dengan fasih. Oleh karenanya, mereka tidak mampu membawakan yang sama seperti al-Quran, yang oleh teman dan musuh menyebut al-Quran sebagai mukjizat, bahkan sampai pada susunan katanya.
Mukjizat al-Quran malah membuat para pengingarnya menyebutnya sebagai sihir dan syair, sementara Nabi Muhammad saw dijuluki penyihir dan penyair. Untuk itu mereka menasihati masyarakat agar tidak mendengar ayat-ayat al-Quran yang dibacakan oleh Nabi Muhammad Saw. Karena tanpa sadar mereka yang mendengarnya langsung terpengaruh dan seperti tersihir.
Bila memang ada orang yang menjadi guru bagi nabi dan mengajarkan pelbagai masalah ini, pertanyaannya mengapa ia tidak memperkenalkan dirinya agar masyarakat mengenalnya dan mengimaninya. Pada prinsipnya bagaimana mungkin pernyataan tantangan yang disampaikan al-Quran bahwa "Tidak ada satu orang pun yang mampu mendatangkan satu surat seperti al-Quran", sampai sekarang tidak terjawab oleh seorang pun? Bagaimana dapat membayangkan sebuah kitab yang semua orang Arab non muslim tidak mampu membawakan satu surat, sementara seorang non Arab mengajarkan semuanya kepada Nabi?
Ini adalah sebagian dari pertanyaan-pernyataan yang sampai kini belum terjawab. Karena al-Quran juga tidak mirip dengan ucapan Nabi Muhammad Saw yang dikumpulkan dalam buku-buku hadis. Bila dibandingkan secara teliti, ayat-ayat al-Quran benar-benar berbeda dengan hadis nabi.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengenal pertanyaan dan ucapan orang-orang yang menentang Islam, harus disertai dengan memberikan jawaban yang tepat dan sesuai kepada mereka.
2. Kita harus waspada akan dampak propaganda luas para musuh agar tidak terjadi masalah dalam keimanan kita akan al-Quran. Kita harus berusaha agar menghilangkan setiap kerancuan yang ada dengan jawaban yang logis dan tepat.

Tafsir lain :
Tafsir ayat 101-102
“Dan apabila kami mengganti satu ayat di tempat ayat- padahal allah lebih mengetahui apa yang diturunkannya – mereka berkata: “sesungguh nya engkau pengada ada. ”bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui katakanlah: “yang telah menurukannya adalah Rubul Qudus dari tuhan mu dengan hak untuk mneguhkan orang orang yang telah beriman dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi para muslimin.”
Uraian tentang siapa yang di perdaia setan dan tentang kemantapan rayuan nya terhadap kaum musyrikin, sekaligus uraian tentang al Quran yang kesemuanya menjadi poko urain ayat ayat, mengandung uraian tentang tanggapan kaum musyrikin terhadap al quran . apalagi terhadap tuntunan allah baik melalui al quran maupun sunah, yang di ubah atau berbeda dengan tuntunan sebelumnya akibat perkembangan masyarakat dan demi kemasyalahatannya. Ayat ni menguraikan hal itu dengan menyatakan bahwa dan apabila kami mengganti suatu ayat al-qur’an di tempat ayat yang lain – padahal allah yang mengetahuinya maha luas lebih mengetahui dari siapapun tentang apa yang diturunkan nya, antara lain menyangkut kapan dan apa yang diganti dan menggantikan serta apa yang merupakan kemaslahatan masyarakat. Apabila terjadi yang demikian, sebagian mereka yang tidak mengetahui itu berkata : “sesungguhnya engkau, wahai nabi muhammad, berbohong dalam pengakuanmu bahwa pergantian itu bersumber dari allah, bahkan engkau banyak sekali berbohong sehingga engkau sebenarnya adalah pengada - ada, layak nya pembohong. “
Ucapan kaum muslimin musyrikin itu di sanggah bahwa sama sekali ucapan kaum musyrikin itu disanggah bahwa sama sekali salah dan kedurhakaan ucapan itu, bahkan kebanyakan mereka yang  bersinambung  kekufuran dan ucapannya yang  semacam itu tidak mengetahui. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada mereka itu bahwa : ”aku bukannya pengada, bukan juga atas kehendakku ayat ini dan itu digantikan,tetapi itu semua adalah kehendak Allah dan yang telah menurunkannya, yakni membawa turun al-Quran dan pergantian itu secara berangsur, adalah Ruhul Qudus, yakni malaikat Jibri as.”
Selanjutnya, ayat ini menekankan bahwa al-Quran bukan bersumber dari malaikat suci itu,bukan jug dari manusia, tetapi ia bersumber dari Tuhan pemelihara dan pembimbingmu, wahai Nabi Muhammad. Dia menurunkannya dengan haq, yakni dalam keadaan dan di sertai dengan kebenaran dan berisikan kebenaran serta dengan tujuan yang benar yaitu untuk meneguhkan hati dan pikiran orang-orang yang telah beriman dan menjadi petunjuk yang sangat jelas menuju jalan kebahagiaan serta kabar gembira bagi para muslimin, yakni orang-orang yang berserah diri kepada Allah.
Kata ayah pada ayat 101 di atas di pahami oleh beberapa ulama dalam arti mukjizat sehingga ayat tersebut, menurut mereka, berbicara tentang oergantian mukjizat atau bukti-bukti kebenaran yang di paparkan oleh Nabi Muhammad saw. pendapat ini mereka kemukakan dalam rangka menolak pandangan ulama lain yang menyatakan bahwa ada ayat al-Quran yang di batalkan ketentuan hukumnya dan di gantikan oleh ayat yang lain, atau yang diistilahkan dalam ilmu-ilmu al-Quran dengan Naskh dalam arti pembatalan hukum syariat dengan hadirnya hukum yang baru yang bertentangan dengan hukum yang sebelumnya.
Hemat penulis,memahami kata ”ayah” pada penggalan awal ayat diatas dengan mukjizat dihadang oleh sekian banyak hal yang ditemukan dalam rangkaian redaksi ayat itu sendiri. Dari segi konteks, jelas   bahwa Firman-Nya di atas berkaitan dengan firman Allah pada ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang al-Quran sehingga sangat wajar jika kata ”ayah” disini di pahami sebagai ayat al-Quran. disisi lain menurut ayat ini pergantian itu mengundang tuduhan kaum musrikin bahwa nabi muhammad SAW. pembohong. Seandainya yang dimaksud dengannya adalah mukjizat, tentu penilaian itu tidak sejalan dengan tuduhan karena pergantian suatu mukjizat dengan mukjizat yang lain justru mengukuhkan kebenaran nabi SAW. disamping itu, kata diturunkan dan menurunknnya demikian juga istilah ruhul kuddus, yakni malaikat jibril a.s. kesemuanya mengisyaratkan uraian ayat berkaitan dengan turunnya al-qur’an karena kita tidak menumukan pernyataan al-qur’an yang menyatakan bahwa malaikat jibril a.s. membawa turun mukjizat. Justru malaikat itu yang di nyatakan oleh al-qur’an secara tegas sebagai yang membawa turun ayat-ayat al-qur’an.
Namun demikian, penulis tidak menilai ayat ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan  bahwa adanya ayat-ayat al-qur’an yang dibatalkan hukumnya tidak berlaku lagi. Karena pernyataan tentang adanya pembatalan hukum baru ditempuh  jika terbukti ada ayat-ayat al-qur’an yang saling bertentangan. diketahui juga mana hukum yang turun mendahului yang lain dan terbukti pula tidak dapat dikompromikan disisilain, pada masa turunnya surah ini dalam priode mekah, belum banyak kalau enggan berkata belum ada ayat-ayat hukum yang di batalkan karena perkembangan masyarakat islam belum sepesat keadaan nya setelah nabi berhijrah di madinah. Dapat juga ditambahkan bahwa pernyataan beberapa ulama tentang adanya ayat-ayat yang bertentangan satu dengan lainy, dari masa ke masa, semangkin berkurang. Bahkan, kini telah timbul pemikiran dan penafsiran baru yang mampu mengompromikan  semua ayat-ayat yang semula di duga bertentangan oleh ulama terdahulu.
Memang, ada ayat-ayat yang berbeda satu dengan lainnya, tetapi perbedaan itu tidak harus di jadikan dasar untuk menyatakan bahwa ada ayat yang dibatalkan hukumnya. Kata baddalna terambil dari kata baddala yang berarti mengganti. Yang digantikan tidak harus berarti ia dibuang dan tidak dipakai lagi.  Kata tersebut pada ayat ini mengandung makna pergantian atau pengalihan dan pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain. Dalam arti : ketetapan hukum atau tuntunan yang tadinya diberlakukan pada suatu masyrakat diganti dengan hukum yang baru bagi mereka tanpa membatalkan hukum atau tuntunan yang lalu. Bila suatu ketika ada masyrakat lain yang kondisinya serupa dengan masyrakat islam di mekah ketika turunnya yat yang digantikan itu, yang digantikan tersebut bisa diberlakukan kepada mereka.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan ayat pengganti yang digantikan disini tidak mutlak dalam arti ayat hukum. Bisa saja, misalnya, ada ayat yang kandungan tuntunan nya ringan di laksanakan selalu disusun sesudahnya dengan tuntunan dalam bidang lain yang pelaksanaan nya berat. Maka ketika itu, kaum musrikin berkata bahwa ayat ringan menujukan ketegasan dan kekerasan.
 seperti ayat yang menyatakan bahwa:
“ satu jiwa yang berdosa tidak dapat memikul dosa satu jiwa yang lain. “ (Q.S al-an’am [6] : 164)   dinilai oleh kaum musrikin bertentangan dengan firmannya.
“ mereka memikul dosa dosa mereka secara sempurna pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang-orang yang mereka sesat kan tanpa pengetahuan” ( Q.S an-nahal [16] : 25 )
Demikian lebih kurang maksud uraian ibnu asyur . hal yang mirip dikemukakan oleh tabba tabai’i yang menyatakan bahwa pengalian redaksi itu bertujiuan menunjukan kesempurnaan pemeliharaan dan rahmatnya kepada rasulullah SAW. ini juka lanjut taba taba’i untuk menunjukan bahwa yang dimaksud dengan qul atau katakan lah yang di perintahkan itu adalah penyampaian kepada mereka bukan sekedar mengucap kan kata-kata tersebut.
Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata, sesungguhnya ia diajarkan kepada nya oleh seorang manusia. Bahasa orang yang mereka condong adalah ‘Ajam sedang ini adalah bahasa arab yang terang.
Setelah membantah ucapan kaum musrikin berkaitan dengan pergantian tuntunan al-qur’an dengan bantahan yang jelas, kini disebut lagi dalil mereka yang lain yaitu: dan sesungguhnya kami mengetahui secara terus-menerus bahwa mereka, yakni orang-orang yang tidak mempercayai al-qur’an itu, di ajarkan kepadanya, yakni kepada nabi muhammad oleh seorang manusia, yaitu seorang pemuda romawi atau persia bukan malaikat yang datang menurun kan nya.” Tuduhan mereka itu sungguh tidak benar. Bagaimana bisa benar, bahasa orang yang mereka condong, yakni menuduh secarah batil, bahwa nabi muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam yakni bukan bahasa arab sedang ini yakni al-qur’an adalah dalam bahasa arab yang terang dan mencapai puncak tertinggi dari keindahan dan kedalaman makna yang tidak mampu di tandingi oleh siapapun walau sastrawan arab bekerja sama untuk menandinginya.
Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja masa kini ketika berbicara tentang pengetahuan allah tentang na’lamu / kami mengetahui. demikian juga pengetahuan kaum musyrikin menuduh al quran sebagai pengajaran orang lain kepada nabi Muhammad saw. yu ‘ allimuhu. ini mengisyaratkan bahwan tuduahn seperti terus berlanjut. Dahulu kamu musyrikin menuduh bahwa nabi muhammad saw. di ajar oleh hamba sahaya oleh romawai bernam jabar. mereka memfitnah dengan menunjuk slam al farisi yang berasal dari persia . jauh sesudah nabi saw . pun tuduhan masik terdengar. syaid hub menulis bahwa kaum atheis di rusia dalam pertemuan para orientalis pada 1954 mengakui bahwa al quran tidak mungkin merupakan hasil karya seorang manusia, tetapi merupakan hasil banyak orang dan bahwa yang di sampaikan oleh nabi muhammda saw. itu tidak mungkin kesemuanya di jajirah arab. beberapa bagian di antarnya di tulis di jajirah arab. Beberapa bagian diantaranya ditulis diluar arab. demikian mereka sadar mengakui keistimewaan al qur an mereka enggan berkat bahwa apa yang di sampaikan nabi muhammad saw. sendiri, tetapi sebagiannya di ajarkan oleh orang lain. ini serupa dengan ucapan kaum musyrikin ini jahiliyah yang lalu. pengakuan itu tidak lain kecuali karena mereka menemukan kandungan al quran sedemikian mengagumkan sehingga lahir penilaian demikian .
Penggunaan kata kami mengetahui bukan allah atau aku tuhan mengetahui, agaknya mengisyaratkan bahwa tuduhan semacam itu walau mereka rahasiakan untuk kepentingn menghalangi orang lain memercayai Al-qur’an, tetapi itu diketahui Allah dan diketahui pula oleh sekelompok kaum muslimin yang kemudian harus tampil membuktikan kebohongna mereka.
Ayat ini tidak menjelaskan siapa yang mereka duga mengajarkan al-qur’an kepada nabi tetapi sekedar mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia tidak disebutnya nama yang besangkutan bukan saja karena telah merupakan kebiasaan al-qur’an tidak menyebut nama tetapi juga untuk menampung semua yang di duga oleh siapapuyang mengajarkan kepada nabi muhammad SAW.[9]








[1] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia  (Jakarta : Balai Pustaka, 1985) hal 632
[2] Kementerian Agama RI, Penciptaan Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), hal. 8-9
[3] Muhammad Fathurrohman, Proses Kejadian Manusia Dan Nilai-Nilai Pendidikan Di Dalamnya, http//Proses Kejadian Manusia dan Nilai-nilai Pendidikan di Dalamnya/2012/09/19.html. diakses pada hari sabtu 11 Juni 2016
[4] Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1989) h. 5
[7] Abdur Rahman. Landsan dan tujuan pendidikan menurut Al-qur’an (Bandung : CV. Diponegoro. 1982) h. 68.
[8] Ahmad Mushthafa. Tafsir Al-Maraghi (Semarang : CV. Toha Putra. 1992) h. 341
[9] Ahmad Quraish Shihab. Tafsir Al-misabh volume 6 (Jakarta : Lenterra Hati. 2002) h. 729-737

No comments:

Post a Comment