Chrome Pointer
Selamat Datang dan Terima Kasih Telah Berkunjung di Blog ini

Thursday 16 June 2016

i’tibar dan Ibrah Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Kemajuan



A.    Pengertian Ibrah Sejarah
Didalam Al-Qur’an yang artinya : “maka tidakkah mereka mengadakan perjalanan dimuka bumi sehingga mereka mendapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka ? Allah telah melimpahkan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat) seperti itu.” (Q.S Muhammad/10 : 47).
“dan berapa banyak umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka,yang mereka itu lebih besar kekuatannya dari pada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakn itu) telah pernah menjelajah dibeberapa negeri. Adakah mereka mendapat tempat lari (dari kebinasaan). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bagi orang-orang yang mempunyai hati atau orang yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Q.S Qaf/50 : 36-37).
“maka tidakkah mereka bepergian dimuka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka ? (Q.S Yusuf/12 :109).
Al-Quran memberitahu kita tentang para nabi terdahulu yang dating sebelum nabi Muhammad SAW. Didalam kitab suci ini ada satu surat yang bernama surat Al-Anbiya/21 (para nabi) dan adapula yang bernama Al-Qashash/28 (kisah-kisah). Lalu ditengah masyarakat kitab Qishash Al-Anbiya (kisah-kisah para nabi) merupakan salah satu kitab yang sangat popular melalui gambaran kehidupan para nabi tersebut kita diberi pelajaran berharga tentang bagaimana para pribadi paripurna itu menjalani kehidupan mereka, bagaimana mereka menghadapi tantangan kehidupan, bagaimana merek menyikapi keberhasilan, bagaimana mereka memperlakukan umatnya yang patuh maupun yang durhaka, bagaimana mereka memperlakukan kekayaan yang melimpah ruah dan kekuasaan yang hamper tak terbatas, bagaimana mereka menghadapi ketiadaan harta maupun keturunan, bagaimana mereka menghadapi derita  ditimpa penyakit berkepanjangan.
Al-Qur’an member pembacanya informasi tentang bangsa-bangsa terdahulu yang mencapai kejayaan dalam sejarah tetapi kemudian haruss menghaapi kehancuran karena kedurhakaan kepada hokum tuhan. Al-Qur’an juga menceritakan sejumlah pribadi yang menonjol baik karena kebaikannya maupun karena kedurhakaannya. Para nabi jelas merupakan pribadi-pribadi yang disayangi Allah swt. Dan tentu diceritakan untuk ditiru.
Jika Al-qur’an mengandung informasi sejarah yang sedemikian kaya maka itu artinya menekankan betapa pentingnya umat islam memiliki kesadaran sejarah yang baik. Sadar secara sejarah tidaklah berarti bahwa semua orang islam mesti menjadi ahli sejarah dan menguasai data-data historis secara terperinci.sadar secara sejarah dapat mengamnbil bentuk kesadaran yang baik tentang proses panjang kehidupan manusia. Seorang yang sadar bahwa manusia memiliki sejarah kehidupan yang panjang akan terdorong untuk berfikir, berencana, dan bertindak tidak saja untuk kepentingan jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Orang yang berkesadaran sejarah potensial untuk terhindar dari sikap “pendek akal”.[1]
Aspek-aspek dari kesadaran sejarah, yaitu

1.    Dengan begitu maka seseorang lebih mengharagai apa yang ada sekarang.segala kebaikan, kemajuan, kesenangna, kemudahan yang diperoleh dalam hidup generasi sekarang adalah hasil dari sebuah proses sejarah yang panjang. Tanpa perjuangan dan upaya generasi masa lalu, yang sekarang tidak aka nada. Pada gilirannya ini akan menumbuhkan sikap menghargai secara positif segenap capaian yang ada saat ini.kesadaran sejarah ini juga relevan terhadap hal-hal negative yang sedang berlangsung. Setidaknya, dengan sejarah seseorang dibantu memahami apa yang terjadi dan dapat membangun sikap yang rasional dan proporsional terhadap keadaan. Banyak dari kekurangan yang sangat terjadi sesungguhnya berakar sangat dalam, dan penyebab-penyebabnya harus dicari dalam sejarah.
2.    Kesadaran sejarah dapat pula menjadi landasan tumbuhnya rasa tanggung jawab. Seorang yang menginsapi bahwa kebaikan yang dinikmatinya atau kesusahan yang harus ditanggungnya sekarang merupakan buah dari proses sejarah, tentulah terdorong untuk berfikir tentang masa yang akan dating serta bagaimana dia akan berperan dalam masa mendatang itu natinnya. Apakah dia akan melakukan sesuatu yang berguna dalam hidupnya dan nantinya akan membuahkan kebaikan bagi generasi mendatang,  atau sebaliknya dia memilih untuk melakukan hal-hal yang buruk yang akan membuahkan bencana bagi mereka yang hidup belakangan ?kesadaran sejarah tadi, sekali lagi, membuat orang berfikir lebih panjang, karena dia sadar dia sedang hidup dalam satu momensejarah yang bertautan erat ke masa dahulu dan juga ke masa mendatang.
Al- Qur’an jelas mengingatkan umat Islam mengetaui tentang sejarah secara baik : bangsa-bangsa yang sukses dalam sejarah,sebab-sebab dan cara-cara mereka menjadi sukses; bangsa-bansa yang gagal dalam sejarah, sebab-sebab dan cara-cara mereka hancur; individu- individu istimewa dan bagaimana mereka mengharungi hidup dan kehidupan.lalu kitab suci ini menganjurkan agar umat Islam mengambil pelajaran berharga dari pengalaman bangsa dan generasi yang telah dahulu menghuni panggung sejarah. Pelajaran inilah yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sebagai ‘ibrah. Allah swt. Berfirman dalam Q.S. yusuf /12 :111, Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yangmenggunakan akal pikirannya.[2]

B.     I’tibar dan Ibrah Pendidikan Islam Pada Masa Kemajuan  
1.    Semangat Membangun Lembaga Pendidikan dan Dukungan Pemerintah
Faktor-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah diluar mesjid adalah :
a.    Khalaqah-khalaqah ( lingkaran ) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalam nya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, disamping sering pula mengganggu orang-orang yang beribadah dalam mesjid. Keadaan demikian, mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah tersebut keluar lingkungan mesjid, dan didirikanlah banguna-bangunan sebagai ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri dengan demikian kegiatan pengajaran dari khalaqah-khalaqah tersebut tidak saling mengganggu satu sama lain.

b.    Dengan berkembang luasnya ilmu pengetahuan baik mengenai agam maupun umum maka diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin keseluruhan tertampung dalm ruang mesjid.[3]
Disamping itu tedapat factor-faktor lainnya yang mendorong bagi para penguasa dan pemegang pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan yang terpisah dari mesjid antara lain adalah :
a.    Dalam pemerintahan bani Abbasiyah, untuk mempertahankan kedudukan, mereka dalam pemerintahan, mereka untuk berusaha menarik hati kaum muslimin pada umumnya dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum. Mereka berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah diberbagai tempat dan dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan. Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar sekolah-sekolah yang mereka dirikan.

b.    Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebut, disamping dengan harapan untuk mendapatkan simpati dari rakyat umumnya, juga berharap mendapatkan ampunan dan pahala dari Allah.
Pembesar Negara pada masa itu, dengan kekayaan meraka yang luar biasa banyak yang hidup dalam kemewahan dan sering pula berbuat maksiat dengan mendirikan sekolah-sekolah dan membiayai secukupnya, berarti mereka telah mewakafkan dan membelanjakan harta bendanya dijalan Allah. Mereka berharapo hal yang demikian dapat menjadi penebus dosa dan maksiat yang telah mereka kerjakan. Kalau para ulama dan para ahli berbagai ilmu pengetahuan banyak berbuat amal shaleh dengan keahlian mereka masing-masing maka merekpun ingin berbuat yang serupa sebagai imbangannya.

c.    Para pembesar Negara pada masa itu dengan kekuasaannya, telah berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayan tersebut tidak bias diwariskan kepada anak-anaknya, karena diambil oleh sultan.anak-anak mereka akan menjadi terlantar dan hidup dalam kemiskinan.
Untuk menghindari hal tersebut, mereka mendirikan madrasah-madrasah yang dilngkapi dengan asrama-asrama dan dijadikan sebgai wakaf keluarga. Anak-anak dan kaum keluargalah yang berhak mengurus harta kekayaan wakaf tersebut, sehingga kehidupan mereka dengan demikian akan terjamin.

d.   Disamping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha-usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar Negara yang bersangkutan. Dalam mendirikan sekolah ini mereka mempersyaratkan harus diajarkan aliran keagamaan tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan tersebut akan berkembang dalam masyarakat.
Walau bagaimanapun motivasinya namun jelas bahwa dengan berkembangnya madrasah-madrasah karena muslimin telah mendapat kesempatan yang luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.[4]
Dengan berdirinya madrasah-madrasah tersebut, lengkaplah lembaga pendidikan islam yang bersifat formal, mulai dari tingkat dasar yaitu Kuttab sampai tingkat menengah dan tingkat tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan formal ini belum mempunyai kurikulum yang seragam tetapi masih bervariasi antara madrasah satu dengan lainnya. Hal ini sangat tergantung kepada keahlian guru-gurunya, tendangan tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan, dan berhubungan pula dengan perhatian daripada pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah yang bersangkutan.
2.    Kurikulum
Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi, kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan Islam pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan cultural, materi kurikulum semakin luas. Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-Quran dan agama, membaca, menulis, dan berenang. Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, kurikulum tingat rendah sedikit berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran ,ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti al-Quran, syair, dan fiqih. Setelah usai menempuh pendidikan rendah, siswa bebas memilih bidang studi yang ingin ia dalami di tingkat tinggi.
Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti masjid, dengan al-Quran sebagai intinya. Ilmu-ilmu agama harus dikuasai agar dapat memahami dan menjelaskan secara terperinci makna al-Quran yang berfungsi sebagai fokus pengajaran.
3.    Metode Pengajaran yang Baik
Dalam proses belajar mengajar, metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang penting untuk mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para pelajar. Metode pengajaran yang dipakai dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan. [5]
a.    Metode Lisan
Metode ini dapat berupa dikte, ceramah, qira`ah, dan dapat berupa diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman sehingga pelajar mempunyai catatan yang dapat membantunya terutama bagi yang daya ingatnya tidak kuat. Metode ceramah (al asma`), yaitu guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Pada saat tertentu guru memberi kesempatan kepada murid untuk menulis dan bertanya. Metode qira`ah (membaca) biasanya digunakan untuk membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode pengajaran dalam pendidikan Islam dengan cara perdebatan.
b.    Metode Hafalan
Metode ini dilakukan oleh murid dengan cara membaca berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak mereka. Dalam proses selanjutnya, murid mengeluarkan kembali pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam suatu diskusi dia dapat merespon, mematahkan lawan, atau memunculkan ide baru.
c.    Metode Tulisan
Metode ini merupkan metode pengkopian karya-karya ulama. Metode ini di samping bermanfaat bagi proses penguasaan pengetahuan juga sangat besar artinya bagi penggandaan jumlah buku karena pada masa itu belum ada mesin cetak.
4.    Kehidupan Murid
Ciri utama kehidupan murid dalam pendidikan tingkat dasar adalah :
a.    Diharuskannya belajar membaca dan menulis.
b.    Bahan pengajarannya menggunakan syair-syair dan bukan al Qur`an karena dikhawatirkan mereka membuat kesalahan yang akan menodai al Qur`an.
c.    Murid-murid diajarkan membaca dan menghafalkan al Qur`an.
d.   Pada sekolah dasar tidak ditentukan lamanya belajar dan tergantung pada kemampuan anak-anak.
e.    Hubungan guru dan murid sebagai hubungan orang tua dan anak.
Pada pendidikan tingkat tinggi murid-murid bebas memilih guru yang mereka sukai yang dianggapnya paling baik. Di antara ciri khas pendidikan di masa Masa Abbasiyah adalah teacher oriented , yaitu kualitas suatu oendidikan tergantung pada guru. Pelajar bebas mengikuti suatu pelajaran yang dikehendaki dan bisa belajar dimana saja, misdalnya di perpustakaan, toko buku, rumah ulama atau tempat terbuka. Pelajar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelajar tidak tetap, yang terdiri dari para pekerja yang mengikuti pelajaran untuk menunjang profesi dan pelajar tetap, yaitu pelajar yan g mempunyai tujuan utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk belajar. Setiap pelajar membuat daftar guru-guru yang mengajar yang disebut Mu`jam al Masyakhah. Daftar tersebut digunakan sebagi bukti bahwa mereka telah belajar kepada guru-guru yang terkenal dan dapat mengetahui kualitas hadits yang mereka terima dari seorang guru.
5.    Semangat Rihlah Ilmiyah
 Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa itu adalah sistem Rihlah Ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Dengan adanya sistem ini pendidikan di masa Masa Abbasiyah tidak hanya di batasi dengan dinding kelas (school without wall) tetapi memberikan kebebasan kepada murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar sekaligus belajar, sehingga sistem rihlah ilmiyah disebut dengan learning society (masyarakat belajar). Kebebasan perjalanan di berbagai daerah Islam menyebabkan pertukaran pemikiran (culture contact) terus berlangsung antar masyarakat Islam sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam terus berlangsung. Syalabi, mengutip dari Nicholson menjelaskan bahwa melakukan perjalanan ilmiah laksana lebah mencari bunga ke tempat yang jauh kemudian mereka kembali ke kota kelahirannya dengan membawa madu yang manis.
6.    Semangat Wakaf
Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi lembaga pendidikan Islam. adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistem ekonomi Islam yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syari`ah Islam sehingga aktifitas ekonomi memppunyai tujuan ibadah dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu di saat ekonomi Islam mencapai kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam seperti halnya untuk pelaksanaan pendidikan Islam. Dengan dipelopori penguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al Rasyid dan al Ma`mun maka berdirilah lembaga-lembaga pendidikan untuk keilmuan. Menurut Syalabi, bahwa khalifah al Ma`mun adalah orang yang pertama kali memberikan pendapatnya tentang pembentukan badan wakaf.[6]
7.      Semangat penyebaran ilmu
Semangat penyebaran ilmu dapat dilihat terutama dari produktivitas mereka dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ulama dan cendikiawan tersebut telah menulis buku yang luar biasa banyaknya. Seorang ilmuwan atau ulama bisa saja menulis sampai ratusan karya. Karya-karya mereka itu tersimpan diperpustakaan. Tokoh-tokoh seperti, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibn Rasyid, dan Ibn Khaldun, begitu juga imam-imam mazhab yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi,I dan Ahmad bin hambal).[7]


[1] Hasan Ashari. Esai-Esai Sejarah, pendidikan dan Kehidupan (Medan: Cita Pustaka Media Perintis. 2009) h. 3
[2] Ibid. h. 5
[3] Zaini Muchtarom. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: IAIN Jakarta. 1985) h. 99
[4] Ibid. h. 100-101
[5] Badrim Yatim. Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Abbasiyah. (Jakarta : Grafindo Persada, 2006), h. 101-102
[6] Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara. 2006) h.12-13
[7] Haidar dan Nurgaya. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana. 2013) h.135

No comments:

Post a Comment